Sejak bayi sampai kelas 3 SD, berat badan saya terbilang normal untuk usia saya, lalu saat kelas 3 SD saya sempat diopname di rumah sakit karena mengidap penyakit hepatitis. Lalu yang saya ingat bahwa salah satu obat yang diberikan saat saya sakit itu adalah syrup curcuma yang saat saya SMK di sekolah Farmasi akhirnya saya tahu bahwa obat itu merupakan salah satu suplemen yang cukup ampuh untuk menambah berat badan.
Maka tak heran sejak saat itu nafsu makan saya meningkat drastis, bahkan saat kelas 6 SD saya sudah mencapai berat 45 kg, hehehe. Sejak saat itu pula saya menjadi bahan bercandaan teman-teman dengan memanggil saya gajah, wahh ... hehehehe.
Berat badan saya tidak pernah turun sejak saat itu dan terus meningkat, saat SMA berat badan saya mencapai 65 Kg, lalu saat kuliah di semester awal, berat badan saya semakin menjadi sebab saat itu saya kuliah sambil kerja di sebuah apotek yang biasanya pulang di pukul 10 malam, dan biasanya saat pulang saya pasti membeli gorengan untuk makan malam.
Puncaknya kesehatan saya menurun drastis--saya jadi sering pingsan, bahkan di kampus sekalipun, kesehatan saya yang menurun itu akibat pola makan saya yang tidak sehat, saya sampai memutuskan untuk berhenti kerja saat itu, dan fokus memperbaiki kesehatan. Salah satu upaya saya saat itu adalah dengan membeli sebuah sepeda dan memutuskan untuk memakai sepeda ke kampus, dan rutin naik sepeda setiap sore hari. Saat itu berat badan saya turun 8 kg--hanya dengan bersepeda tanpa mengurangi porsi makan.
Apa itu Emotional Eating?
Dikutip dari laman hallo sehat, emotional eating atau makan saat emotional adalah ketika kita menggunakan makanan sebagai cara untuk mengatasi emosi, bukan makan karena kita lapar. Saat marah, sedih, stress, kita akan mencari makanan sebagai cara untuk menenangkan emosi dan menjadikannya sebagai pengalih perhatian.
Biasanya saat saya sedang emosi, makanan yang menjadi pengalih perhatian saya dari rasa emosional itu adalah makanan yang berkuah dan pedas, bisa mie instan soto, bakso, mie kuah, dll. Ada juga yang melampiaskan emosinya ke makanan yang manis, seperti cake, coklat, dll.
Emotional Eating: Faktor Utama Keserakahan Saya Terhadap Makanan
Sejak kuliah itu saya sadar bahwa saya adalah type orang yang kalau stress malah mengalihkan pikiran rumet saya ke makanan, saat kuliah sambil kerja misalnya, saat itu saya sebenarnya dibuat stress karena waktu saya seperti tidak cukup untuk melakukan banyak hal, terlebih saat itu saya juga aktif di organisasi, maka jalan keluar dari semua kerumetan pikiran saya adalah dengan makan.
Semakin keras kerja otak saya berpikir maka semakin meningkat nafsu makan yang saya miliki. Orang bilang saat stress malah akan gampang menurunkan berat badan--beberapa orang yang sedang stress terlihat kehilangan berat badan tapi saya malah kebalikannya, dan anehnya orang-orang malah berpikir kalau saya sedang bahagia, hehehe.
"Kamu tambah subur Fit, bahagia yah hidupmu?"
Orang yang melihat saya bertambah berat badan pasti akan berkomentar seperti itu, sayangnya hahahah ... hidup saya malah sedang hancur-hancurnya jika berat badan saya sedang bertambah.
Lalu, kenaikan berat badan drastis saya berikutnya adalah ketika saya habis melahirkan Al Fayyad, hehehe .. mungkin kenaikan berat badan ini juga termasuk berat badan karena hamil, saat itu berat badan saya mencapai lebih dari 80 Kg--sekedar informasi tinggi badan saya hanya 150 cm, jadi bisa dibayangkan bagaimana bulatnya saya dengan berat 80 kg lebih di tinggi yang cuma 150 cm.
Tapi yang mungkin juga berpengaruh terkait emotional eating ini adalah karena saat itu saya sedang di puncak stress karena mengurus bayi plus satu balita yang sedang di masa-masa tantrumnya, hehehe. Satu yang mungkin juga sebagai salah satu akibat stress itu adalah karena saya juga adalah seorang ibu pekerja yang harus membawa anak ke tempat kerja--saya sampai beberapa kali ditegur karena membawa anak ini, saya sempat berpikir untuk berhenti kerja saat itu--sayangnya saya adalah seorang ASN yang sangat berat melepaskan profesi aman ini, karena kami adalah perantau yang tidak memiliki satupun keluarga di Kabupaten Mamasa ini, jadi kami tidak punya tempat yang kami percaya untuk menitipkan anak-anak.
Sama halnya dengan beberapa bulan belakangan ini, berat badan saya juga mengalami kenaikan yang sangat drastis--pemicunya saat ini adalah moment kehilangan sang calon adik di bulan Juni tahun 2023 kemarin. Saya sempat bercerita kalau keluarga kami memang sedang merencanakan untuk punya adik baru tahun lalu, sayangnya kehamilan yang saya jalani saat itu bermasalah yang mengakibatkan adik di perut saya dan sebagian dari tuba falopi saya harus diangkat, hikkss ... sampai sekarang saya masih tidak bisa move on dari kejadian ini. Makanya saya lagi-lagi berada pada mode "emotional eating", yang mengakibatkan berat badan saya bertambah dengan drastis.
Cara Mengatasi Emotional Eating
Sejujurnya saya juga masih belajar bagaimana cara mengatasi emotional eating ini, sebab sejak SD--sejak dimana berat badan saya bertambah dan obesitas sampai sekarang di umur 30 tahun, saya masih belum mampu mengatasi kelemahan saya yang satu ini, sebab itulah saya mengatakan diatas bahwa emotional eating ini adalah penyebab utama keserakahan saya terhadap makanan.
Tapi tidak apa-apalah saya menuliskan beberapa tips di bawah ini--untuk saya peribadi sebagai pengingat, sebab saya menuliskan ini memang untuk diri saya sendiri, jika ternyata ada diantara yang membaca tulisan ini yang terinspirasi dan ingin mempraktikkannya, Ayo kita sama-sama berjuang melawan emotional eating!
Kenali Penyebab Emotional Eating
Tahap pertama untuk mengatasinya adalah mengenali pemicu yang membuat kita cenderung makan secara emosional. Kalau saya pribadi itu karena sedih, kecawa ataupun saat marah.
Mengatasi Pemicu Tersebut
Step selanjutnya adalah mengatasi stress pemicu emotional eating itu, cara yang saya lakukan di tahun belakang ini adalah dengan menerapkan mindfulness, sayangnya saat kejadian kehamilan KET yang menimpa saya tahun lalu, saya jadi kurang mampu menerapkan mindfulness dengan baik, hiks.
Berikan Hak untuk Tubuh
Terakhir, hormati tubuh kita, tanamkan dalam diri bahwa kita harus memberikan hak kepada tubuh kita untuk sehat, maka berikan kebutuhan makanan yang sehat kepada tubuh kita. Jadikan hal ini sebagai alasan kita untuk tidak melakukan emotional eating.
Referensi:
https://hellosehat.com/mental/gangguan-makan/emotional-eating-nafsu-makan-saat-emosi/
Post a Comment