Judul: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Penulis: HAMKA
Tahun Terbit: Juli 2019
Penerbit: Gema Insani
Jumlah Halaman: 255 Halaman
Nomor ISBN: 978-602-250-416-0
Assalamu'alaykum ... Hai, hai ... sibuk sekali yah rasanya di bulan Agustus kemarin, hehehe. Bulan lalu saya cuma bisa menulis 1 tulisan---review buku "Inspirasi Sang Pendidik" di blog ini, dan setelahnya menghilang tanpa kabar. Bulan Agustus kemarin memang bulan yang penuh kesibukan karena ada beberapa bimbingan dan pelatihan yang saya ikuti, lalu sibuk dengan perkemahan pramuka dan Agustusan. Eh ... kok malah gak sesuai topik nih tulisan saya, hahaha.
Oke, back to topik, awal bulan Agustus kemarin, saya mendapatkan kiriman buku bekas yang sudah saya pesan lewat online---buku bekas teman FB saya yang dijual murah, 2 buku yaitu buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (Buku ini) dan buku Api Tauhid Karya Habiburrahman El Shirazy hanya saya beli seharga Rp 50.000 saja, murah sekali bukan?
Saya merasa sangat beruntung bisa membeli kedua buku ini dengan harga murah karena ternyata kondisi bukunya juga masih sangat bagus, bahkan untuk novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini masih benar-benar seperti buku baru.
Buku pertama yang saya baca adalah novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, saya pikir akan habis membaca novel ini hanya dalam 2 hari saja---karena biasanya kalau saya ketemu novel maka akan saya babat habis dalam waktu singkat, sayangnya kesibukan yang saya lakukan di bulan Agustus ini memaksa saya untuk mempending bacaan novel ini sampai berminggu-minggu setelah saya membuka paket novel ini.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang Lebih Dulu Saya Kenal Lewat Film
Sumber: Wikipedia |
Sejujurnya saat film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck rilis, saya sama sekali tidak tahu menahu akan film ini, maklum saya bukan penggemar film. Lalu, tahun yang lalu, adik saya di Makassar menyebutkan film ini, dan bilang bahwa ia sangat terkesan dengan film yang diangkat dari novel karya Buya Hamka. Setelah mendengarkan bahwa film ini sangat keren, maka bersemangatlah saya untuk menonton film ini.
Dan ... saya ternyata bosan menontonnya padahal mestinya saya tertarik karena di awal film saja kita sudah disuguhi dialek bahasa Makassar--kampung halaman saya, hehehe---saya memang bukan penggemar film, jadinya saya tidak menontonnya sampai habis. Setelah melihat buku bekas yang dijual oleh teman FB saya tersebut, saya langsung tertarik untuk memesan buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini.
BLURP
Zainuddin--seorang pemuda berdarah campuran Minang dan Bugis--pergi dari tanah kelahirannya (Mangkasar) ke Padang Panjang, kampung halaman sang ayah, dengan hati penuh harapan akan mendapat sambutan bahagia dari keluarga sang ayah. Sayang, apa yang ia harapkan tidak terjadi. Keluarga besar sang ayah menaggapnya orang asing. Namun, ketidaknyamanan hidup di kampung halaman sang ayah sedikit terobati karena perkenalannya dengan Hayati---gadis keturunan bangsawan yang rupawan. Mereka saling jatuh cinta dalam keikhlasan dan kesucian jiwa.
Di tengah perjalanan asmara mereka, Zainuddin harus menerima penplakan pahit dari keluarga Hayati karena jurang perbedaan adat, kedudukan, dan ekonomi yang membentang di antara mereka. hayati pun menikah dengan Aziz---seorang pemuda asli Minang, keturunan terhormat beradat berlembaga dan kaya, tetapi sifatnya tidak mencerminkan sosok bangsawan yang terhormat dan berbudi luhur.
Untuk mengobati luka hati yang hampir membuat dirinya bunuh diri, Zainuddin bersama sahabatnya pergi ke tanah Jawa. Zainuddin mencurahkan segenap luka hatinya dalam bentuk tulisan yang ternyata mendapat apresiasi luar biasa. Zainuddin menjadi sosok terkenal dan kaya raya. Pada saat itulah, Hayati kembali lahir dalam hidupnya. Kesetiaan cinta Zainuddin kepada Hayati pun diuji. Bagaimana takdir menuntun kisah asmara dua anak manusia ini? Apa yang terjadi pada Kapal Van der Wijck akan menjadi kunci jawaban dari pengembaraan cinta Zainuddin dan Hayati.
Makassar dan Minang Bertemu dalam Sebuah Novel
Di awal filmnya kita akan menemukan bahasa Makassar, maka saya sebenarnya punya harapan akan menemukan dialog berbahasa Makassar dalam novel ini, sayangnya saya tidak menemukannya lebih dari sapaan "Daeng" untuk orang Makassar.
Ketika membaca awal dari novel ini dimana latar tempatnya masih di Mangkasar---Makassar, saya sedikit berimajinasi tentang keadaan Makassar di tahun 1930an--latar waktu di novel ini, Makassar dengan Pantai Loasari, benteng Rotterdam tempat Pangeran Diponogoro diasingkan, Lapangan Karebosi, Gunung Bawa Kareng dan Gunung Lompo Battang. Ahhh ... perantau ini rasanya rindu dengan Makassar.
Saya memang suka dengan sejarah, maka saya amat sangat bersemangat saat membaca novel ini. Lalu, beralih ke Chapter ke 3 novel ini, kita akan dibawa menuju tanah Minang yang luar biasa, penulis yang memang orang Minang sangat ahli dalam menggambarkan tanah Minang dengan sangat detail, sampai saya bisa membuat imajinasi tersendiri tentang desa Batipuh tempat Zainuddin dan Hayati bertemu.
Di novel ini, kita juga akan menemukan banyak sekali adat istiadat Minang yang sangat kental dan terkesan kaku, tatapi sangat dijunjung di zaman itu. Adat istiadat yang akhirnya menjadi becana dan masalah untuk kemurnian cinta Zainuddin dan Hayati.
Bahasa yang Indah
Oh iya, ada satu hal yang amat sangat saya sukai di novel ini adalah penggunaan bahasanya yang sangat indah. Saya pernah beberapa kali membaca novel dari dua penulis hebat di masa perjuangan---Angkatan 45 yaitu Pramoedya Ananta Toer lewat novel Bumi Manusia dan juga Karya HAMKA di novel ini, dan keduanya memang punya ciri khas tersendiri, tetapi karya Buya Hamka punya kesan tersendiri karena bahasanya yang indah dan terkesan seperti puisi---Maafkan saya jika saya salah dalam menafsirkan karya tulisan orang-orang hebat ini.
Untuk bahasa yang indah ini, saya sampai beberapa kali harus mengulang bacaan untuk hal-hal yang kadang tidak terlalu saya pahami karena kesulitan mencerna bahasa yang digunakan oleh penulis, tetapi di pertengahan sampai akhir buku saya sudah mulai memahami setiap bahasa yang digunakan dan mulai menikmati setiap kata demi kata yang tertulis di novel indah tersebut.
Kritikan Atas Adat Minang yang Kaku
Novel ini secara keseluruhan adalah kritikan sang penulis akan adat Minang yang kaku, karena adat yang kaku inilah Zainuddin harus diterjang netapa demi nestapa---di usir dari desa Batipuh, lalu harus sakit hati melihat Hayati, sang pujaan hati harus dijodohkan dengan Aziz yang lebih beradat dan punya garis keturunan Minang yang asli dan kaya raya.
Khadijah sang Sumber Masalah
Hahahah ... izinkan saya tertawa terlebih dahulu, karena saat membaca novel ini, saya rasa sumber dari semua penderitaan yang dialami Hayati dan Zainuddin adalah kehadiran Khadijah yang katanya adalah sahabat Hayati tetapi memberikan pengaruh pemikiran yang buruk kepada Hayati. Karena Khadijah inilah, Hayati akhirnya memilki keraguan atas masa depannya dengan Zainuddin, bahwa mereka berdua adalah orang yang miskin, dan keluarga mereka tidak akan bisa berhasil ditengah kemiskinan yang mereka alami.
Karena Khadijah pulalah, sang kakak Aziz akhirnya punya niat untuk menikahi Hayati---awalnya dia hanya tertarik dengan kecantikan Hayati dan tidak pernah punya niat untuk menikah, tetapi karena bujukan dari Khadijah agar mempersunting Hayati, akhirnya Aziz memantapkan diri untuk meminang Hayati dan menikahinya---sang Ibu juga punya andil untuk membujuk Aziz tetapi tetap saja di mata saya sebagai pembaca Khadijah inilah pencetusnya, hahaha--si Khadijah di mata saya sangat menyebalkan.
Realita Pernikahan yang Tak Seindah Harapan
Hayati mendampakan kebahagiaan setelah menikah dengan Aziz setelah mengingkari janji setianya terhadap Zainuddin, dan di salah satu suratnya kepada Khadijah dia berkata bahwa "Cinta hanyalah datang sesudah pernikahan", ini membuktikan bahwa ia sedang berusaha mencintai sang suami--Aziz.
Tetapi nyatanya, keindahan pernikahan hanya dirasakan seumur jagung, karena begitu mereka pindah ke Surabaya, sifat dan tabiat Aziz semuanya terkuak dan membawa kesengsaraan luar biasa untuk Hayati. Orang bilang ini adalah karma yang diterima Hayati karena mengingkari janji setianya kepada Zainuddin.
Zainuddin Membuktikan Dirinya
Berbeda dengan nasib Hayati yang menderita dengan pernikahannya dengan Aziz. Setelah kesengsaraan dirinya ditinggal menikah oleh Hayati. Ia bangkit dari keterpurukan dan memulai hidup baru menjadi seorang penulis yang sangat sukses, ia juga pindah ke Surabaya dan membangun perusahaan penerbitan di sana, dan sukses menjadi orang besar dan dipandang.
Pertemuan Zainuddin dan Hayati di Surabaya
Di Surabaya, Zainuddin, Aziz dan Hayati bertemu kembali. Aziz yang tengah terlilit hutang memanfaatkan kebaikan Zainuddin untuk mengatasi masalahnya dan akhirnya menumpang hidup kepada Zainuddin. Kondisi Aziz yang terpuruk membuatnya merasa malu dan akhirnya mengambil jalan pintas untuk mengakhiri penderitaan yang ia alami.
Tragedi Pamungkas = Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Ada yang bertanya-tanya gak? Inikah judulnya "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck", lalu dimana kapalnya? Hehehe ... Ternyata sanga kapal adalah tragedi pamungkas dari semua kesengsaraan cinta yang dialami Hayati dan Zainuddin. Setelah drama meninggalnya Aziz, ungkapan hati Hayati terungkap kepada Zainuddin tetapi tentu saja setelah semua yang teradi Zainuddin tidak bisa begitu saja memafkan Hayati setelah keingkarannya terhadap janji yang ia ucapkan dulu.
Maka dipulangkanlah kembali Hayati ke Padang dengan menggunakan Kapal Van der Wijck, sayangnya kapal ini harus tenggelam sebelum sampai ke tempat tujuan dan membuat Hayati meninggal dunia karena kecelakaan kapal ini.
Saat Hayati sekarat, barulah Zainuddin mengutuk diri sendiri dan mengakui bahwa ia tidak akan bisa hidup tanpa Hayati dan menyatakan betapa ia mencintai Hayati. Sayangnya, pernyataan cinta itu tidak bisa membuat kematian menginggalkan Hayati.
Kesimpulan
Secara keseluruhan novel ini sangat bagus. Saya secara pribadi sangat suka dengan bahasanya yang indah, lalu ada unsur Makassarnya juga, hehehe---harap maklum ini adalah kampung saya. Penggambaran karaternya jugda sangat kuat, saya sampai bisa merasakan sakit hatinya Zainuddin tetapi juga kadang merasa kalau Zainuddin ini sangat bodoh, hahaha. Kalau saya yang jadi Zainuddin maka saya akan mencari wanita lain yang bisa mengobati luka hati saya, tidak usah terlalu mengharapkan cinta dari perempuan yang mudah mengingkari janji.
Walaupun saya seorang perempuan, tetapi entah kenapa saya tidak suka dengan karakter Hayati di novel ini karena begitu mudah mengobral janji yang ia sendiri sulit untuk menepatinya---makanya kalau berjanji tuh jangan dimudah-mudahkan, wahai wanita! Heran deh, terus dia merasa paling tersakiti, padahal mah menikah dengan Aziz juga pilihannya karena merasa kalau hidupnya tidak akan bahagia bila bersama Zainuddin yang miskin---yah walau Mamak, Niniknya serta Khadijah punya peranan terhadap pemikiran dan keputusan Hayati ini, tetap saja saya merasa gondok. Kalau tahu adatmu begitu kental, sekali lagi wahai Hayati "Jangan mudah mengumbar janji!"---Esmosi saya, hahaha.
Untuk endingnya, saya sedikit dibuat syok karena begitu mulianya Zainuddin membiarkan Aziz dan Hayati menumpang hidup kepadanya. Hai Zainuddin, hatimu aman? Heran deh, lalu saat Aziz meninggal dan Hayati akhirnya dikembalikan kepada Zainuddin, duh ... kenapa yah? Rasanya aneh, rasanya ada sesuatu yang mestinya tidak pada tempatnya.
Sebenarnya ending dari kisah Zainuddin dan Hayati ini, bisa saja berakhir bahagia karena kematian Aziz, lalu Zainuddin dan Hayati yang masih saling mencintai. Tetapi keras kepanya Zainuddin malah membuat penderitaan ini semakin lengkap. Tapi sekali lagi, kalau saya jadi Zainuddin, pasti juga akan berfikir seperti itu sih?
Sampai akhirnya keputusan Zainuddin yang tidak menerima Hayati dan memutuskan untuk mengembalikannya kembali ke Minangkabau tempat Mamak dan Niniknya yang beradab akhirnya menjadi pemutus dari segala kesensaraan cinta mereka. Kapal Van der Wijck yang dinaiki Hayati tenggelam.
Untung saja penulis, berbaik hati menyisakan kisah akhir dimana Hayati di temukan di RS dalam keadaan sekarat---dan Zainuddin akhirnya mengatakan penyesalannya akan keputusan yang dia ambil, yang seandianya dia bisa memafkan dan membiarkan Hayati tetap tinggal dan menjadi istrinya, mungkin akhirnya akan lain. Tetapi takdir berkata lain, Hayati harus menghembuskan napas terakhirnya.
Akhir yang menurut saya cukup adil, tetapi sangat menyedihkan, sebab sekali lagi saa katakan bahwa jika penulis berbaik hati mungkin endingnya akan bahagia, tetapi kisah yang dimulai dengan kesengsaraan harus berakhir dengan kesengsaraan pula.
"Pergantungan jiwaku, Zainuddin. Ke mana langit tempatku bernaung setelah engaku hilang pula dariku, Zainuddin. Apalah artinya hidup ini bagiku kalau engkau pun telah memupus namaku dari hatimu"
Post a Comment